Kamis, 23 April 2009

Debat OMR VS ICR pada Data Entry Tabulasi Pemilu 2009

Sebenarnya lebih baik ICR atau OMR ? Sepertinya topik ini mengemuka setelah pasca pemilu sistem tabulasi nasional tidak mencapai target yang diinginkan. Berikut adalah beberapa kutipan dari http://indonesiafile.com/content/view/1096/62/ :

Saking alotnya perdebatan itu, tim teknologi informasi KPU terbelah menjadi dua kubu. Aziz lebih memilih menggunakan ICR karena cocok dengan kondisi di lapangan. ICR lebih unggul dalam hal kecepatan perhitungan suara dan mudah dilakukan petugas. Hanya saja, Aziz berterus terang, memang ada yang meragukan kemampuan ICR untuk mendeteksi karakter angka tertentu. Angka seperti 1 dan 7, 3 dan 8, 6 dan 0 dalam tulisan tangan kadang-kadang memang hampir mirip. Tapi Aziz yakin, masalah itu telah teratasi. ''Sampai sejelek apa pun tulisan, karakternya masih bisa diidentifikasi,'' ujar Aziz.

Di sisi berlawanan, ada kelompok lain yang lebih memilih menggunakan teknologi optical mark recognition (OMR). Prinsipnya, OMR juga menjalankan fungsi pemindaian. Hanya saja, tak seperti ICR yang berusaha memindai tulisan tangan, OMR memindai data yang telah diberi tanda pada karakter abjad atau angka tertentu. ''Dengan cara ini, tingkat validitas dan akurasi data jelas lebih terjamin,'' kata Bambang Edi Leksono, pendukung metode OMR.


Penulis memandang bahwa dua teknologi tersebut sama-sama dapat berpeluang untuk sukses dijalankan pada tabulasi nasional Pemilu 2009,.Penulis melihat kedua pendapat di atas “benar” kecuali pada kata-kata “Sampai sejelek apa pun tulisan, karakternya masih bisa teridentifikasi” karena sampai sekarang ICR tercanggih pun belum pernah diimplementasikan untuk membaca resep obat dari seorang dokter disebuah apotik . (Itupun penulis masih ragu apakah kata-kata itu salah kutip atau memang demikian adanya, penulis tidak ingin berpolemik pada masalah tersebut).

Dari pengalaman penulis menjalankan ICR maupun OMR, mutlak diperlukan persiapan pelaksanaan yang cermat dan pendekatan yang berbeda pada masing-masing teknologi. Ibarat penulis berada di Klaten (kota kelahiran penulis yang terletak di antara Yogyakarta dan Solo/Surakarta) hendak terbang ke Jakarta, maka penulis harus memilih bandara Yogya Adi Sucipto atau Solo Adi Sumarmo. Untuk ke Yogya penulis harus menempuh jalan ke Gondang-Prambanan-Kalasan -Yogya sedangkan ke Solo penulis harus menempuh jalan ke Delanggu-Kartasura-Solo. Demikian pula pada kedua teknologi ini , keduanya membutuhkan pendekatan berbeda dalam mencapai tujuannya.

Optical Mark Recognition

OMR mengandalkan persentasi warna hitam (dari isian pensil/pena/spidol) pada suatu area tertentu yang akan dibaca sebagai data tertentu. Jadi seperti yang kita lihat pada lembar ujian UAN / UASBN / Rekrutmen berbentuk multiple choice, apabila kita mengarsir atau memberi tanda silang pada pilihan jawaban “A” maka aplikasi OMR akan membacanya sebagai “A”.


Gambar 1. Proses Lembar OMR dapat dilakukan dengan tanda silang dengan pena, pensil dan spidol yang penting image yang dihasilkan cukup hitam.

Perkembangan aplikasi Mark Recognition buatan bangsa Indonesia sangat berkembang dengan berbagai keunggulan: bisa menggunakan tanda silang, dapat diisi dengan pena/pensil/spidol, data dapat langsung diekspor ke aplikasi office. Penulis berpendapat untuk teknologi OMR berbagai merk nasional seperti Digital Mark Reader, Smart Mark Reader, OMR Pro, dan beberapa merk lainnya tidak akan kalah bersaing dengan produk luar negeri. 

Mengapa penulis katanya produk OMR luar negeri tidak akan menang melawan produk OMR dalam negeri di Indonesia ? Karena persiapan pelaksanaan OMR di Indonesia biasanya memang lain daripada yang lain: Salah cetak formulir baik : salah ukuran, salah warna, salah potong hampir selalu terjadi di Indonesia, sehingga produsen OMR di dalam negeri pada awalnya bersusah payah melakukan re-engineering mengatasi hal ini. Belum lagi masalah salah pengisian nomor peserta, anulir nilai soal, isian pensil tipis-tipis, sosialisasi pengisian yang biasanya kurang baik atau mungkin ada satu-dua orang yang benar-benar tidak mengerti cara mengisinya biarpun disosialisasi berkali-kali.Apabila lembar ujian habis ? Mereka akan melakukan fotocopy lembar jawaban sebagai pengganti. Sederhana sekali. 

Pada persiapan lembar ujian di luar negeri, penulis mengacu pada negeri tetangga Singapura, mereka mencetak dengan mesin cetak continuous form dengan presisi tinggi, menggunakan color drop out ink, yang mahalnya ampun-ampunan.Tidak menggunakan fotocopy. Aplikasi luar negeri di desain pada kondisi ideal seperti ini, makanya beberapa merk software OMR luar negeri berguguran di negeri ini karena tidak sanggup mengatasi lingkungan yang kurang terantisipasi oleh mereka. Berbanggalah saudara-saudara bahwa OMR buatan dalam negeri jauh lebih bandel…. karena memang lingkungan kita benar-benar bandel. (Ini diakui oleh seorang direktur ICR dari mancanegara dan rekan-rekan distributor scanner se Asia sewaktu penulis memperagakan salah satu software OMR dari Indonesia dengan segala kendala yang terjadi. Saat ini software ini digunakan di 3 negara Malaysia, Korea Selatan, dan Arab Saudi).

Bagaimana agar OMR sukses dalam implementasinya ?

1. Desain formulir OMR yang minim resiko. (maksudnya resiko salah warna, salah cetak, bulatan jawaban cukup jaraknya antara satu pilihan dengan pilhan lain, dan bulatan pilihan cukup besar agar tidak menyebrang ke pilihan tetangga ketika mengisi, gunakan mode dua warna cetak antara anchor (hitam) dan objek yang diisi (merah, biru, hijau – scanner mampu mendropout warna ini).
2. Sosialisasikan cara mengisi Lembar OMR dengan baik, berupa petunjuk pengisian maupun diperagakan cara pengisiannya sebagai contoh.
3. Lembar jangan sampai kotor, robek atau terlipat pada saat pengumpulan dan jangan sekali-kali distaples.
4. Kecepatan scanner sangat mempengaruhi proses OMR karena aplikasinya cenderung membaca lebih cepat daripada kecepatan scanner.


Bagaimana Kelemahan dari OMR ?

1. Keengganan Responden mengisi pada isian yang cukup banyak pada satu form.
Untuk mengisi nama lengkap, alamat, nama kota, nama propinsi dan deskripsi panjang memang tidak cocok menggunakan OMR, karena dapat membuat respondennya frustasi. Pada ujian sangat cocok untuk menggunakan OMR.
Mengisi lembar OMR pun membutuhkan waktu yang lebih lama.

2. Data yang dapat diperoleh dari suatu formulir OMR terbatas jumlahnya. Sehingga untuk data yang banyak diperlukan lembar yang banyak pula. Sehingga untuk keperluan ini scannernya perlu lebih banyak atau kapasitasnya lebih besar.

Bagaimana Keunggulan dari OMR?

1. Waktu Proses yang cepat dan akurasi yang sangat tinggi

Karena logika aplikasi yang hanya mengecek “hitam” atau “putih” pada area tertentu, maka prosesnya cenderung cepat dan akurat. Akurat disini artinya bahwa isian yang diisi oleh responden akan diterjemahkan secara benar. (artinya kalau respondennya salah isi, bukan dalam lingkup hitungan akurasi)

2. Operator scanner lebih nyaman dan lebih cepat dalam bekerja karena sangat minim verifikasi

Pengalaman penulis untuk memproses 115,000 peserta ujian psikotes hanya membutuhkan waktu 4 jam dengan scanner kecepatan 100 ppm sebanyak 2 unit dengan 2 operator dan 2 pembantu operator yang mengurus kertasnya (masih ditambah dua orang lagi yang sibuk membelikan makanan dan membuatkan kopi dan teh).

3. Target penyelesaian pekerjaan dapat terukur dengan baik 

Pada proyek OMR, penulis dapat menentukan kapan pekerjaan diselesaikan dengan perkiraan yang tidak rumit. Bila ingin selesai 4 jam maka scanner yang dibutuhkan pada kecepatan sekian adalah sekian banyak ditambah beberapa operator.

Bagaimana Risiko yang membuat OMR gagal atau terganggu (berdasarkan jumlah keluhan pada organisasi penulis)

1. Lembar yang tidak didesain dari awal dan mutu percetakan Lembar OMR yang keterlaluan asal-asalannya (35% dari masalah yang ada)
2. Listrik Mati (3,5% dari masalah yang ada)
3. Scanner macet atau tidak berfungsi atau gagal install (malah tidak install driver) (28% dari masalah yang ada)
4. Operator yang tidak terampil, gampang ngambek , dan tidak datang tepat waktu atau malah bolos ( 1 % dari masalah yang ada)
5. Virus komputer (2,8 % dari masalah yang ada)
6. Salah memilih template pembacaan OMR (28% dari masalah yang ada)
7. Lupa atau kehilangan dongle lisensi OMR sehingga tidak bisa berjalan aplikasinya.(0,5 % dari masalah yang ada)

Inti dari Optical Mark Recognition adalah susah diawal (mengisi formulir nya) tetapi tidak repot di akhir (operator yang memproses).Optical Mark Recognition juga memiliki risiko kegagalan yang rendah apabila cara pengisiannya tersosialisasikan dengan baik.

Intelligent Character Recognition (ICR)

Intelligent Character Recognition adalah teknologi mengenali tulisan tangan manusia yang serupa mungkin dengan huruf cetak (hand printing) dari sebuah image dan diterjemahkan menjadi data. Ini adalah definisi bagi penulis secara sederhana. 

Secara awam , aplikasi ini menerjemahkan suatu image , setelah melalui pemisahan huruf demi huruf (separasi), menjadi suatu teks dalam format digital. Image ini dihasilkan dari lembar ICR yang discan menjadi image atau citra digital.

Kebetulan penulis pernah melakukan implementasi ICR dengan salah satu software ICR Internasional pada riset dan proses aplikasi kartu kredit berbasis alphanumeric ICR pada organisasi di Indonesia. Berbeda dengan OMR yang langsung didapatkan data dengan akurasi tinggi, ICR membutuhkan verifikasi dan validasi dari operator pada hasil-hasil yang meragukan.



Gambar 2. Implementasi Teknologi ICR di sebuah lembar biodata pada satu organisasi pemerintah


Bagaimana agar ICR sukses dalam implementasinya ?

1. Desain Formulir ICR yang rendah risiko (Membuat kotak huruf isian cukup besar, kotak huruf isian dapat dihilangkan pada saat scanning sehingga tidak mengganggu pembacaan ICR, Cetakan yang stabil, dan petunjuk pengisian yang jelas).
2. Kualitas cetakan formulir yang bermutu tinggi.
3. Kualitas image yang sangat jelas menjadi tolak ukur penting bagi proses ICR, teknologi ini menganalisa pattern atau bentuk citra mana yang sesuai dengan huruf atau angka mana, berbeda dengan OMR yang hanya mengukur hitam atau putih. Kualitas image didapatkan dari kualitas image scanner dan setting yang tepat sewaktu scanning.
4. Sosialisasi pengisian formulir ICR. Perlu diingatkan pada responden bahwa ICR memiliki keterbatasan dalam membaca tulisan mereka, sehingga kepatuhan mereka pada petunjuk pengisian akan menjadi kunci sukses implementasi.
5. Kecakapan operator ICR mulai dari ketrampilan mengoperasikan scanner pada kondisi kertas yang berbeda , mengoperasikan ICR , melakukan verifikasi dan validasi data.
6. Jumlah verifikator untuk implementasi harus banyak untuk mencapai target penyelesaian yang cepat, sehingga disini jumlah orang yang melakukan verifikasi menjadi kunci utama kecepatan ICR. Jadi kalau OMR perlu scanner cepat, ICR perlu komputer untuk verifikasi yang banyak, pada pengolahan skala besar. Pengalaman penulis untuk mencapai hasil 2000 lembar aplikasi kartu kredit (35-80 field) per hari dibutuhkan 1 operator scanner dan 8 orang verifikator dengan akurasi mendekati 98%.
7. Mekanisme verifikasi menjadi penting untuk mempercepat proses bagi aplikasi ICR, sehingga perlu dibuatkan interface yang memudahkan melakukan verifikasi.
8. Perlu kontrol kualitas akhir pada hasil untuk mencapai 100% Acccuracy.
9. Target waktu penyelesaian sukar diukur terutama pada awal proses, namun mulai biasanya mulai dapat diukur setelah 2-3 hari implementasi tergantung kerumitan formulir dan kemampuan operator.

Bagaimana Kelemahan dari ICR ?

1. Faktor akurasi awal tergantung dari berbagai variabel antara lain bentuk tulisan, pemilihan bentuk formulir, image yang dihasilkan oleh scanner yang harus menunjang ketajaman dan keutuhan bentuk pattern dari huruf atau angka. Faktor akurasi berikutnya sangat tergantung dari sikap mental operator yang teliti dan telaten dalam menjalankan proses ICR. Disini prosesnya tidak bisa terlalu dipaksakan untuk cepat untuk mencapai akurasi tinggi.
2. Operator yang berfungsi sebagai verifikator dan validator (apalagi yang biasa mengoperasikan OMR) akan cepat stress dan malas apabila hasil yang harus diverifikasi sangat banyak. Pelatihan intensif yang mencakup pengendalian image hasil scanner, pengoperasian ICR dan Verifikasi harus dilakukan dengan praktek yang cukup.
3. Perlu banyak orang untuk mengoperasikan komputer yang membantu proses verifikasi pada ICR. 
4. Kadang diperlukan re-tune in data pada saat implementasi. Mengapa demikian? Berbeda dengan proses OMR pada field kode kota dalam 3 angka misalnya responden dipaksa mengarsir pada angka 0-9, sedangkan pada ICR disediakan kotak kosong sebanyak 3 buah yang diisi angka 0-9, namun pada banyak kasus sering diisi dengan kata “JKT”. Pada kasus ini template ICR harus dimodifikasi untuk memenuhi dua kriteria yang ada, mengapa begitu ? Karena yang salah dapat mencapai 30-40% dari responden, mengapa begitu ? Kembali ke topik awal tadi bahwa : “sosialisasi pengisian yang biasanya kurang baik atau mungkin ada satu-dua orang yang benar-benar tidak mengerti cara mengisinya biarpun disosialisasi berkali-kali”.

Keunggulan ICR

1. Mengisi formulir ICR itu mudah dibanding formulir OMR
2. Jumlah data yang termuat dalam satu lembar formulir ICR lebih banyak daripada jumlah data yang termuat pada formulir OMR sehingga investasi scanner lebih kecil karena jumlah lembarnya tidak banyak (Namun ingat perlu dibarengi dengan penambahan sejumlah komputer dan operatornya untuk membantu verifikasi).
3. Jumlah image yang dihasilkan kecil sehingga jumlah kebutuhan storage lebih kecil (ini sebenarnya tergantung resolusi image, pada OMR image 100 dpi sudah cukup untuk diproses).

Risiko yang membuat ICR gagal atau terganggu (berdasarkan jumlah keluhan pada organisasi penulis)

1. Lembar yang tidak didesain dari awal dan mutu percetakan Lembar ICR yang terdistorsi bisa menjadikan gagal total (27%)
2. Listrik Mati (0% dari masalah yang ada)  diterjemahkan sebagai belum terjadi
3. Scanner macet atau tidak berfungsi atau gagal install (malah tidak install driver) (25,8% dari masalah yang ada)
4. Operator yang tidak terampil (27,7%)
5. Virus komputer (0 % dari masalah yang ada) diterjemahkan sebagai belum ada
6. Template pembacaan ICR gagal membaca (8% dari masalah yang ada)
7. Responden salah isi atau tulisan tidak terbaca dengan baik akibat bentuk tidak wajar (10,4%)*

*Kondisi ini pada saat sudah dilakukan sosialisasi pengisian formulir.

Konsekuensi Memilih ICR

Tentunya sekarang apabila diputuskan penggunaan ICR konsekuensinya adalah : mendesain formulir dan mencetaknya membutuhkan kontrol kualitas tinggi dari sisi presisi, operator harus menguasai scanner untuk mendapatkan image yang optimal, operator menguasai ICR dan verifikasinya dilakukan beberapa komputer dan operator agar lebih cepat, perlu tenaga tune in template bila diperlukan, perlu sosialisasi pengisian formulir agar tulisannya bagus dan tertib serta pada tempatnya.

Konsekuensi memilih OMR

Kontrol kualitas cetak dari sisi warna, presisi. Sosialisasi pengisian lembar OMR. Penyediaan scanner yang memiliki kapasitas dan kemampuan besar per harinya, penanganan dokumen fisik yang teratur karena jumlah yang besar, penambahan storage apabila image hendak disimpan, dan pelatihan operator.

Pertimbangan memilih teknologi ini bagi organisasi berbeda-beda menurut tujuannya. Pada perbankan misalnya tidak mungkin nasabahnya diberi formulir OMR untuk menulis nama lengkap, alamat, nama ibu kandung, dsb sehingga malah membuat calon nasabah mundur takut direpotin. Pada Ujian multiple choice misalnya tidak bijaksana menggunakan teknologi ICR dimana para verificator memverifikasi jawaban A, B, C, D, E dari ribuan siswa, OMR jauh lebih cocok.

Wacana OMR untuk Tabulasi Nasional

Bagaimana bila wacana OMR digunakan untuk tabulasi 2009 ? Pertama perlu dipikirkan dulu azas legalitas dari form OMR itu apabila ini hanya digunakan untuk data entry dan tidak akan digunakan sebagai dasar perhitungan maka form C1-OMR akan diisi petugas TPS (Buku petunjuk pengisian dan Sosialisasi sangat penting) disertai form C1 DPR yang discan bersamaan, dimana form OMR sebagai alat input dan Form C1 bukti atau lampirannya. Kemudian jelas bahwa lembarannya mungkin meningkat 2-3 kali lipat banyaknya dari lembar ICR yang sekarang. Apabila ini dianggap sebagai dokumen legal maka disetiap lembar formulir OMR di TPS apakah harus ditanda tangan ? atau Cuma rangkumannya saja halaman depan?

Kemudian dengan volume peningkatan kertas 2-3 kali lipat apakah scanner yang tersedia masih sanggup dijalankan tanpa kehabisan suku cadang habis pakai atau consumables? Berarti perlu dibudgetkan adanya consumables cadangan. Kemudian apakah image di save dan dikirim ke pusat semuanya? Kalau iya berarti perlu scaling storage lebih besar.

Kemungkinan pekerjaan scanner akan mudah kalau pelatihan operatornya minimal 2-3 hari dengan praktek seperti yang dahulu pernah dilakukan penulis pada kegiatan training 400-an kabupaten untuk scanning lembar ujian UASBN. 

Kemungkinan suksesnya memang lebih besar kalau semuanya well-planned. Namun kalau waktunya Cuma 2 pekan seperti kata tim IT KPU BPPT maka rasa-rasanya penulis juga pesimis harus menyiapkan cetakan dan kontrol kualitasnya, sosialisasi cara mengisi, dan sosialisasi penggunaan teknologi.


ICR pada Tabulasi Nasional

Untuk ICR form sebenarnya bukan sekedar ketebalan yang menjadi masalah namun bentuk mark type nya (kotak-kotak tempat angka ditulis) dapat menjadi bumerang pada kondisi miss-capturing lebih aman menggunakan raster atau warna (namun balik lagi, adalah dana tersedia untuk itu) yang dapat dihilangkan pada proses scanning.

Kemudian perlu sosialisasi mengenai cara mengisi formulir dan waktu pelatihan yang lebih lama dari satu hari. Kenapa lebih dari satu hari ? karena materi untuk mendapatkan image yang baik dari sebuah scanner membutuhkan waktu lama dan sangat tergantung fitur-fitur dari scanner.

Beban Psikologi dan Error

Bagaimana perhitungan beban psikologis anggota TPS yang mengisi lembar OMR? Kalau untuk masalah itu penulis memberikan tanggapan beban psikologis mau ditaruh disebelah mana ? Apakah di pundak anggota TPS atau operator ? Beban psikologis ditaruh di anggota TPS yang harus mengisi 10-20 lembar OMR Form setelah lelah merangkum hasil atau beban psikologis pada operator yang harus memvalidasi semua hasil C1-IT ? Keduanya ada beban psikologis, pada form OMR susahnya kita berikan pada yang mengisi, pada form ICR susahnya kita berikan pada yang memproses. Dan kalau bicara error yang terjadi, bisa saja si anggota TPS salah mengisi formulir OMR, atau bisa juga si operator lupa memvalidasi atau salah memvalidasi. Jadi bicara error yang terjadi atau beban psikologis rasa-rasanya keduanya berpeluang besar terjadi. Untuk error mungkin kita bisa berhitung, namun beban psikologi rasanya perlu di tes lebih lanjut dengan berbagai alat tes psikolog didampingi psikolog , mana yang scalingnya lebih stress . (mungkin alat tes MMPI-2 bisa digunakan : http://en.wikipedia.org/wiki/Minnesota_Multiphasic_Personality_Inventory).

Bagaimana dengan data entry manual, apakah lebih efektif dari ICR ? Penulis harus melihat kasusnya terlebih dahulu, apabila segalanya tidak terencana dengan baik, maka ICR akan memberikan akurasi yang rendah sehingga validasi menjadi sama beratnya dengan mengentry. Pada suatu implementasi di pengolahan aplikasi kartu kredit sebuah bank : mengentry secara manual 35-80 field pada aplikasi kartu kredit membutuhkan 40 operator yang terdiri dari tim entry dan tim validasi dengan optimal throughput 1,500 lembar per hari. Apabila digunakan ICR diperoleh angka 2,000 secara kolaboratif dengan 1 operator scanner dan 8 orang validator dengan akurasi yang kurang lebih sama. (Perlu diingat segalanya sudah dipersiapkan dengan ketat termasuk pengisian oleh sales kartu kredit – satu field = isian nama, alamat, kota dsb)

Namun penulis sepenuhnya sadar bahwa waktu 2 pekan tidaklah cukup untuk melakukan semua-semua yang ideal dan membuat penulis berpikir “Kenapa harus dua pekan ya?”. Anyaway at given condition, penulis merasa sangat kagum dengan semangat juang operator ICR di lapangan yang rela kurang tidur untuk membuat sistem ini berjalan. Di Jakarta Pusat dan Utara misalnya kegiatan scanning dimulai jam 2-3 malam setelah lembar C1 – IT terkumpul. Di malam (atau pagi ya) ini pulalah mereka mulai belajar praktek dan mencoba mengatasi hal-hal yang terjadi seperti kertas tipis, beda ukuran dan lain sebagainya dan tetap bersemangat. 

Pihak yang memberikan usulan kepada KPU untuk menjalankan ICR (kabarnya bukan Tim TI lama dan bukan Tim IT BPPT) semestinya memberikan pula langkah persiapan yang memadai dari sisi desain formulir dan percetakannya, penambahan jumlah PC untuk operator validasi, dan estimasi waktu yang wajar untuk penyelesaian pekerjaan sehingga sistem ini tidak memberikan over expectation dan over confidence pada KPU. Pengurangan jumlah formulir dapat menjadikan cost benefit bagi KPU tetapi jangan lupa ada cost tambahan berupa tambahan investasi komputer dan operator disetiap daerah untuk melakukan validasi. Beban psikologis anggota TPS dikurangi namun jangan lupa ada beban psikologis pada operator ICR. 

Penulis sadar bahwa Tim IT KPU BPPT telah mencoba yang terbaik dari segala keterbatasan yang terjadi, ibarat disuruh lomba lari dengan kaki terikat ditambah masih dihujat para penonton dari luar, sungguh membuat beban psikologis berpindah ke Tim IT KPU – BPPT. (Mungkin perlu ada topik penelitian aliran beban psikologis pada implementasi IT).


Jadi memilih OMR, ICR, atau Entry Manual merupakan pilihan yang harus dihitung konsekuensi dan persiapannya, mana yang tepat sangat tergantung pada tujuan yang ingin dicapai karena semuanya memiliki nilai plus dan minus. Namun perlu diingat jikalau memang sudah memutuskan teknologi mana yang dipilih tentunya segala konsekuensi dan kebutuhan untuk mencapai keberhasilannya perlu dipenuhi terlebih dahulu.

Demikian adalah tulisan penulis berdasarkan praktek yang terjadi pada beberapa proyek di Indonesia, segala masukan atas tulisan ini akan diterima dengan senang hati agar dapat memperkaya wawasan penulis. Marilah mensukseskan TI pemilu 2009 untuk legislatif maupun pilpres, apa pun teknologinya.Semoga pendapat penulis ini berguna untuk implementasi teknologi berikutnya di Indonesia. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar